INVENTARISASI HUTAN PASKA KEBAKARAN DAN PENEBANGAN
Oleh
Dwi Sudarman
Nim. D1B5 08 016
Pendahuluan
Indonesia mempunyai luas hutan yang menempati urutan ke tiga dunia setelah Brasil dan Zaire. Luas hutan Indonesia kini diperkirakan mencapai 120,35 juta ha, atau 63 persen luas daratan (Herdiman, 2003 dalam Hermanus 2006). Hutan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu merupakan salah satu sumber daya alam yang penting bagi Indonesia. Dengan sumber yang cukup tinggi bagi pendapatan ekspor, lapangan kerja, serta sumber pendapatan masyarakat lokal. Untuk mengetahui potensi yang dimiliki suatu kawasan hutan maka dilakukan kegiatan inventarisasi.
Inventarisasi hutan adalah kegiatan dalam sistem pengelolaan hutan untuk mengetahui kekayaan yang terkandung di dalam suatu hutan pada saat tertentu (Simon, 1996). Istilah inventarisasi hutan ini biasa juga disebut perisalahan hutan / timber cruising / cruising / timber estimation. Secara umum inventarisasi hutan didefinisikan sebagai pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumberdaya hutan untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lestari dan serbaguna (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999). Salah satu jenis kegiatan inventarisasi hutan adalah inventarisasi hutan paska kebakaran dan penebangan.
Inventarisasi hutan paska kebakaran dan penebangan merupakan suatu kegiatan survei yang bertujuan untuk mendapatkan data lapangan guna menentukan kebijaksanaan dalam rangka perencanaan pengelolaan kawasan hutan selanjutnya setelah kebakaran atau penebangan. Maksud dilaksanakan kegiatan Inventarisasi Pasca Kebakaran dan penebangan adalah untuk mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif kondisi hutan pasca kebakaran dan penebangan serta sosial ekonomi masyarakat disekitarnya.
Metode Inventarisasi
a. Sistem Pengambilan Contoh
Sistem yang digunakan adalah sistem sampling plot data jalur sistematis dengan menggunakan plot ukur gabungan (Combined Sample Plot). Sistem penyebaran jalur plot secara sistematis dengan pemilihan awal jalur secara acak (System Strip Sampling With Random Start), dengan jalur selebar 20 meter atau 10 meter kanan-kiri jalur ukur. Sedangkan bentuk dan ukuran plot ukur dibedakan berdasarkan kelas diameter dan tingkat permudaan yang ada, yaitu :
1. Bentuk sub plot persegi (20 X 100) meter secara kontinyu sepanjang jalur pada setiap jarak 500 meter untuk pengukuran tingkat pohon besar (diameter >35cm).
2. Bentuk Sub plot bujur sangkar (20 X 20) meter, (10 X 10) meter, (5 X 5) meter pada setiap jarak 500 meter, masing-masing untuk pengukuran tingkat pohon kecil (diameter 20cm > diameter 35cm), permudaan tingkat tiang (diameter 10cm > 20cm) dan permudaan tingkat pancang (tinggi minimal 1,5 s/d diameter > 10cm).
b. Garis Induk
Garis induk (base line) untuk peletakan jalur survei dapat berupa sungai atau jalan yang merupakan garis terpanjang sejajar dengan kountour, sehingga arah jalur survei tegak lurus dengan sungai atau jalan dan kountour.
Peletakan jalur survei pertama dilakukan secara acak sedangkan jalur kedua dan seterusnya secara sistematik dengan intensitas sampling (IS) sebesar 1%
c. Penentuan Jumlah Plot
Jumlah plot/unit contoh yang diperlukan dihitung dengan mempertimbangkan kualitas data yang diperlukan. Jumlah plot ditentukan berdasarkan panjang jalur survei yang harus dibuat didasarkan pada intensitas sampling sebesar 1%. Untuk menghitung panjang jalur survei dan jumlah plot adalah sebagai berikut :
1. Panjang jalur survey
Panjang Jalur Survei = Luas areal x intensitas sampling
2. Jumlah plot yang dibuat
Jumlah Plot yang Dibuat = ______Panjang Jalur Survei_______
jarak antar plot dalam satu jalur
Misalnya luas areal yang disurvei adalah 30.000 Ha, maka jalur survei yang dibuat adalah 150 km dan jumlah plotnya adalah 300 buah, tiap plot mewakili seluas + 100 hektar.
d. Pemindahan Plot Ukur
Pemindahan plot ukur hanya dilakukan bila :
1. Plot terpotong oleh sungai besar (lebar lebih atau sama dengan 3 meter), jalan utama atau Tpn.
2. Sub-plot tingkat pohon kecil (20 m x 20 m), sub-plot tingkat tiang (10 m x 10 m) atau sub-plot tingkat pancang terpotong oleh sungai dengan lebar lebih dari 1 meter dan kurang dari 3 meter atau jalan cabang.
3. Sub-plot tingkat pancang (5 m x 5 m) terpotong oleh sungai atau jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar