Sabtu, 18 Desember 2010

KEARIFAN LOKAL SUKU BUTON TENTANG PEMBUKAAN LAHAN DENGAN CARA PEMBAKARAN

SISTEM TABASI INAWU, PAIA, DAN TATUNU INAWU TENTANG PEMBUKAAN LAHAN DENGAN CARA MEMBAKAR DAN SISTEM KAOMBO UNTUK MENGHINDARI KEBAKARAN  HUTAN  DAN PENEBANGAN LIARSEBAGAI KEARIFAN LOKAL SUKU BUTON DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Oleh :
Nadila dan Ristamala Sari
(Mahasiswa Jurusan Kehutanan Unhalu)

PENDAHULUAN

Kabupaten Buton seluas ± 6.852,86 km2, wilayahnya diturunkan dari wilayah swapraja Kesultanan Buton. Sebelum tahun 1960, kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama Buton, Muna dan Kabaena, dan Tukang Besi (sekarang Wakatobi) serta dua daerah di bagian tenggara Pulau Sulawesi (Rumbia dan Poleang).  Pada tahun 1960, kesultanan yang berusia lebih dari empat abad itu dibubarkan dan wilayah kesultanan tersebut dibagi menjadi dua kabupaten yang sepenuhnya dimasukan ke dalam wilayah Indonesia.  Kabupaten Muna terletak di utara Muna dan Buton, dan Kabupaten Buton meliputi bagiab-bagian lain dari bekas wilayah kesultanan.
Kota Bau-Bau yang memiliki posisi geografis yang sangat strategis di jalur pelayaran nasional, setelah berpisah dari Kabupaten Buton, terus membangun berbagai infrastruktur menuju kota dagang, jasa, industri, pariwisata dan pendidikan.
Dari sisi sumberdaya hutan: semula, selain Hutan Lambusango dan hutan-hutan jati, Kabupaten Buton juga memiliki hutan alam di Bombana. Pertanian: semula Kabupaten Buton memiliki sawah yang luas di Bombana. Wisata alam: Kabupaten Buton telah kehilangan Wakatobi sebagai wisata bahari kelas dunia, setara dengan Bunaken. Penilaian ini, sekali lagi hanya berdasarkan hitungan kasar saat ini. Kabupaten Buton sendiri disadari memiliki berbagai potensi sumberdaya alam yang belum sepenuhnya tergarap, sebagaimana  kawasan Basilika (Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua) yang berpotensi sebagai kawasan wisata bahari sebagaimana Wakatobi.
Kearifan tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang ada di masyarakat (tradisional) dan secara turun -menurun dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Kearifan tradisional tersebut umumnya berisi ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam (hutan, tanah, dan air) secara berkelanjutan. Suku buton merupakan contoh kearifan tradisional yang masih dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan mampu memelihara sumberdaya alam sehingga dapat memberikan penghidupan untuk masyarakat setempat secara berklanjutan. Dari sisi lingkungan hidup keberadaan kearifan tradisional sangat menguntungkan karena secara langsung atau pun tidak langsung sangat membantu dalam memelihara lingkungan serta mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
Namun demikian dengan makin meningkatnya kebutuhan ekonomi akibat perkembangan jumlah penduduk serta meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, kearifan tradisional tersebut banyak yang telah ditinggalkan dan diganti dengan perhitungan ekonomi tanpa mampertimbangkan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dengan makin rusaknya sumberdaya hutan, hilangnya mata air/ sumber air, rusaknya hutan mangrove, dan lain -lain.
Mengingat begitu pentingnya peranan kearifan tradisional dalam upaya memelihara dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, maka kearifan tradisional tersebut perlu terus dipelihara dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari -hari. Upaya ini antara lain dapat dilakukan dengan memasukkan kearifan tradisional system Tatunu inawu yang ramah lingkungan system kaombo(larangan) sebagai hutan adat yang dilindungi.

SISTEM TABASI INAWU TENTANG PEMBUKAAN LAHAN DENGAN CARA MEMBAKAR

Pembukaan lahan system Tabasi Inawu sebagai tahap awal penyiapan lahan yang dapat dilakukan dengan cara membabat pohon-pohon yang akan digunakan sebagai bahan baku.
Sebelum melakukan pembukaan lahan terlebih dahulu dilakukan Tabasi Inawu yang merupakan pembersihan vegetasi yang ada pada lahan tersebut. Dengan cara manual lebih dahulu tanaman bawah dibabat baru kemudian pohon-pohon ditebang. Serasah tanaman dan batang-batang pohon kemudian dibiarkan mengering dan pengeringan akan labih cepat bila dahan-dahan dan ranting-ranting pohon dipotong-potong untuh dijual atau dimanfaatkan sebagai kayu bakar, atau dipakai untuk keperluan lain seperti bangunan. Tunggul-tunggl pohon biasanya dibiarkan dan tidak dicabut. Sebelum cara padat karya (manual) pembukaan lahan ini diterapkan secara besar-besar, dilakukan dahulu secara selektif dan terbatas, berupa uji-coba. Dalam uji semacam ini dapat dibandingkan antara cara manual dan cara mekanis serta kombinasinya pada kondisi di daerah buton.

SISTEM PAIA TENTANG PEMBUKAAN LAHAN DENGAN CARA MEMBAKAR

Paia didefenisikan sebagai suatu cara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Buton ketika hendak membakar hutan yang akan dijadikan sebagai tempat bercocok tanam dengan membuat batas lingkaran di seluruh wilayah yang akan dibakar dan merupakan pengeringan vegetasi yang akan dibakar. Dan diberi batas lingkaran sesuai dengan kondisi lahan tersebut.
Kegiatan ini (pembuatan batas lingkaran) diawali dengan membersihkan rumput, rerantingan, dedaunan dan akar atau tunggak yang dikhawatirkan mudah terbakar sehingga api yang disulut tidak menjalar kemana-mana. Biasanya sebelum pembuatan batas lingkaran, didahului dengan pengetahuan awal tentang arah angin oleh orang yang dituakan.
Pengetahuan awal dilakukan untuk menjawab arah angin mana yang harus dihindari oleh peladang dan penentuan batas lingkaran yang tepat. Kemudian lahan tersebut dibiarkan mongering agar mudh terbakar. Jika kegiatan Tapaia sudah dikerjakan langkah selanjutnya adalah pembakaran lahan.

SISTEM TATUNU INAWU (PEMBAKARAN LAHAN HUTAN)

Tatunu inawu merupakan kegiatan pembakaran bahan bakar berupa kayu dari batang –batang pohon serta bahan bakar lainnya yang sudah kering yang telah ditebang beberapa hari atau minggu sebelumnya untuk persiapan menjadi ladang atau kebun. Menurut keyakinan masyarakat  Buton, bahwa hari yang baik untuk Tatunu inawu akan ditentukan setelah upacara adat.
Tatunu inawu dilakukan pada saat matahari tidak terlalu panas yaitu mulai 07.00 – 10.00 dan waktu sore hari mulai pukul 15.00 – 17.00. Umumnya anggota tim system ini  berjumlah 1o orang sesuai dengan luasan lahan yang dibakar   Tim Tatunu inawu ini diketuai oleh orang yang dituakan yang mempunyai pengetahun  dan arah mata angin. Tim  Tatunu inawu berasal dari orang yang memiliki pengetahuan khusus dan telah berpengalaman dalam membakar lahan.
Peralatan yang dipakai untuk pembakaran diantaranya korek api, alat pemukul apiyang diambil dari ranting dari pohon yang memiliki daun-daun yang masih hidup, air serta daun kelapa kering. Daun kelapa diikat bundar sehingga berbentuk obor yang dapat digunakan untuk membakar bahan bakar. Biasanya sebelum pembakaran diawali dengan niat permohonan agar api dapat membakar bahan bakar dan api tidak menjalar ke tempat atau ladang lainnya. Selain itu, ada kepala adat yang dipercayai dan dianggap sebagai pemimpin kegiatan pembakaran yang bertugas memberikan aba-aba atau kode sebagai tanda bahwa kegiatan pembakaran akan segera dimulai. Tanda-tanda akan dimulai pembakaran dilakukan dengan cara melambai-lambaikan ranting yang memiliki dedaunan hidup.
Peladang sebelum melakukan pembakaran harus dengan cermat dan hati-hati memperhatikan arah angin bertiup untuk membuat titik api. Penentuan titik api sangat menentukan hangus (pembakaran sempurna) atau tidaknya bahan bakar yang dibakar. Penyulutan api pertama dilakukan searah angin bertiup. Pembakaran biasanya dilakukan sore hari dan secara serentak yang melibatkan seluruh peladang untuk menjaga-jaga mengelilingi lokasi perladangan pada saat pembakaran akan dan sedang berlangsung sampai selesai. Sebelum meninggalkan lahan yang sudah terbakar, peladang harus memastikan bahan bakar sudah terbakar sempurna, jika tidak terbakar sempurna biasanya para peladang mengumpulkan bahan-bahan bakar untuk dibakar kembali.
Sesudah pembukaan lahan baru dilakukan pengolahan tanah untuk persiapan pertanaman. Pengolahan tanah dapat dilakukan baik dengan cara manual maupun mekanis Pemilihan cara pembukaan lahan yang tepat penting sekali karena pembukaan lahan merupakan awal dari pengembangan pertanian menetap di daerah-daerah baru. Keefektifan suatu metode pembukaan sangat bergantung pada sifat-sifat tanah, vegetasi, dan iklimnya.



SISTEM KAOMBO UNTUK MENGHINDARI KEBAKARAN  HUTAN  DAN PENEBANGAN LIAR

Kaombo merupakan hutan adat yang dikelola oleh masyarakat setemapat, berupa “sasi” atau laranggan terhadap penyalahgunaan hutan. Dalam pengelolaannya telah diatur oleh adat yakni apabila ada masyarakat setempat yang ingin mengambil hasil hutan berupa kayu atau non kayu haruslah mengambilnya dengan bijaksana dan tetap menjaga kelestariaanya. Dalam jumlah hasil hutan yang dapat diambilpun telah dibatasi jumlahnya, tidak boleh menggambilnya secara berlebihan. Apabila ada masyarakat yang melanggar aturan tersebut berarti mereka telah melanggar adat dan wajib mendapatkan sangsi adat berupa denda adat sesuai pelanggaran yang telah ia lakukan. Sistem ini telah dilaksanakan secara turun temurun dan masih berlaku hingga saat ini, dengan tujuan terjaganya kelestarian hutan secara berkesinambungan sehingga hutan tidak hanya dapat dinikmati saat ini, melainkan anak cucu kita nantinya akan tetap merasakan manfaat dari hutan itu sendiri.
Bisa dipahami apabila para pemodal perusak hutan menutup mata terhadap kerusakan hutan, mengingat mereka umumnya adalah manusia-manusia berdaya yang secara ekonomi memiliki alternatif. Misalnya, apabila lingkungan hidup di Buton tidak lagi nyaman, mereka dengan mudah dapat pindah, apalagi kalau perusak hutan itu berasal dari seberang (luar Buton). Tidak demikian halnya bagi masyarakat yang kurang berdaya yang berada di sekitar hutan, mereka harus merasakan kepahitan lingkungan dan kemurkaan alam, walau mereka bisa jadi sama sekali tidak ikut ambil bagian dalam perusakan hutan.
Jaman keemasan Hutan Lambusango mungkin telah lewat, kerimbunan pepohonan  yang menjadi sumber kenyamanan, kesehatan dan keamanan lingkungan bisa jadi sudah dan akan menjadi semakin mahal seiring dengan kesadaran para pemodal yang melihat bahwa kerimbunan hutan merupakan mesin penghasil uang. Hutan Lambusango kini bukan lagi monopoli milik masyarakat yang hidup disekitarnya, yang pengaturannya diatur oleh lembaga adat macam ‘Kaombo’ atau ‘Sasi’ di masa tempo doeloe, melainkan Hutan Lambusango sudah menjadi milik kepentingan yang bisa jadi tidak terkait sama sekali dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Sungguh, kenyamanan, kesehatan dan kesejahteraan lingkungan bagi masyarakat sekitar hutan kini, lebih-lebih di masa depan jelas tidak akan lagi diperoleh lagi secara melimpah ruah dan cuma-cuma sebagaimana tempo doeloe. Untuk memperolehnya masyarakat tidak bisa lagi hanya tinggal diam dan pasrah, mereka harus sadar bahwa hutan merupakan harta yang tidak ternilai bagi kesejahteraan anak-anak dan cucu-cicitnya di kemudian hari. Nilai harta itu tidak akan terbayar dengan hanya mendapatkan pekerjaan sesaat sebagai operator chain-saw atau kuli pengangkut kayu. Kesejahteraan anak-cucu dan cicitnya harus menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar, bahkan harus diperjuangkan.
Hutan Lambusango, sebagai satu-satunya hutan alam dataran rendah yang berada di jantung Pulau Buton, kini sedang dan mungkin terus akan menjadi ajang perebutan mereka yang lebih mementingkan kepentingan saat ini daripada saat nanti, lebih mengutamakan kepentingan generasi sekarang daripada generasi mendatang, lebih melihat kebutuhan orangtua dan keluarga saat ini, daripada kebutuhan anak, cucu dan cicitnya nanti.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan tidak dapat dicapai dengan sekedar membuka akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya hutan, melainkan harus memperkuat budaya berproduksi dengan mengolah kekayaan alam yang berada di sekitar hutan.

PENUTUP

Kearifan masyarakat Buton dalam mengelola hutan dikenal dengan Sistem Tunu inawu Tentang Pembukaan Lahan Dengan Cara Membakar dan Kaombo (larangan). Tahapan kegiatan dalam pembakaran hutan yakni :
a. Tabasi inawu
Pembukaan lahan system Tabasi Inawu sebagai tahap awal penyiapan lahan yang dapat dilakukan dengan cara membabat pohon-pohon yang akan digunakan sebagai bahan baku.
b. Paia
Paia didefenisikan sebagai suatu cara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Buton ketika hendak membakar hutan yang akan dijadikan sebagai tempat bercocok tanam dengan membuat batas lingkaran di seluruh wilayah yang akan dibakar dan merupakan pengeringan vegetasi yang akan dibakar. Dan diberi batas lingkaran sesuai dengan kondisi lahan tersebut.
c. Tatunu inawu
Tatunu inawu merupakan kegiatan pembakaran bahan bakar berupa kayu dari batang –batang pohon serta bahan bakar lainnya yang sudah kering yang telah ditebang beberapa hari atau minggu sebelumnya untuk persiapan menjadi ladang atau kebun. Menurut keyakinan masyarakat  Buton, bahwa hari yang baik untuk Tatunu inawu akan ditentukan setelah upacara adat.

Minggu, 21 November 2010

TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL

A.    Pendahuluan
Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan sensus. Namun karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari keseluruhan elemen atau unsur tadi.
Populasi adalah keseluruhan objek yang akan/ingin diteliti. Populasi ini sering juga disebut Universe. Anggota populasi dapat berupa benda hidup maupun benda mati, dimana sifat-sifat yang ada padanya dapat diukur atau diamati. Populasi yang tidak pernah diketahui dengan pasti jumlahnya disebut "Populasi Infinit" atau tak terbatas, dan populasi yang jumlahnya diketahui dengan pasti (populasi yang dapat diberi nomor identifikasi), misalnya murid sekolah, jumlah karyawan tetap pabrik, dll disebut "Populasi Finit".
Pengambilan sampel dalam suatu penelitian terhadap populasi bertujuan Agar sampel yang diambil dari populasinya "representatif" (mewakili), sehingga dapat diperoleh informasi yang cukup untuk mengestimasi populasinya. Disamping itu juga pengambilan sampel dikarenakan populasi demikian banyaknya sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti. Keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia, membuat peneliti harus telah puas jika meneliti sebagian dari elemen penelitian. Terkadang penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih reliabel daripada terhadap populasi – misalnya, karena elemen sedemikian banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental para pencacahnya sehingga banyak terjadi kekeliruan. Demikian pula jika elemen populasi homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi menjadi tidak masuk akal, misalnya untuk meneliti kualitas jeruk dari satu pohon jeruk
   Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan yaitu Akurasi dan Presisi. Akurasi atau ketepatan merupakan tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita  dengan karakteristik populasi.
Pemilihan teknik pengambilan sampel merupakan upaya penelitian untuk mendapat sampel yang representatif (mewakili), yang dapat menggambarkan populasinya. Teknik pengambilan sampel tersebut dibagi atas 2 kelompok besar, yaitu probability sampling (random sample) dan non probability sampling (non random sample)

B.     Teknik Pengambilan Sampel Secara Acak (Probability Sampling)
1)      Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen  populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya.  Selama perbedaan gender, status kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi, serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :
a.       Susun “sampling frame”
b.      Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil
c.       Tentukan alat pemilihan sampel
d.      Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi
2)      Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak. Prosedurnya :
a.       Siapkan “sampling frame”
b.      Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
c.       Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum
d.      Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.
3)      Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen saja. Prosedur :
a.       Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen.
b.      Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
c.       Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
d.      Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample
4)       Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang “keberapa”.  Misalnya, setiap unsur populasi yang keenam, yang bisa dijadikan sampel. Soal “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada  ukuran populasi dan ukuran sampel. Misalnya, dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah 25. Prosedurnya :
a.       Susun sampling frame
b.      Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil
c.       Tentukan K (kelas interval)
d.      Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak atau random – biasanya melalui cara undian saja.
e.       Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih.
f.       Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya
5)      Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling sangat tepat. Prosedurnya :
a.       Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) – Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa.
b.      Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupate-Kotamadya-Kecamatan-Desa)
c.       Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.
d.      Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
e.       Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.
C.    Teknik Pengambilan Sampel Secara Bukan Acak (Non Probability Sampling)
Jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.
1)      Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample  (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini,  hasilnya ternyata kurang obyektif.
2)      Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.
-          Judgment Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.
Dalam program pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan, maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik.
-          Quota Sampling
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Misalnya, di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60%  dan perempuan 40% . Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak, melainkan secara kebetulan saja.
3)      Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui pandangan kaum lesbian terhadap lembaga perkawinan. Peneliti cukup mencari satu orang wanita lesbian dan kemudian melakukan wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada wanita lesbian tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya. Setelah jumlah wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok sosial lain yang eksklusif (tertutup)

INVENTARISASI HUTAN PASKA KEBAKARAN DAN PENEBANGAN

INVENTARISASI HUTAN PASKA KEBAKARAN DAN PENEBANGAN

Oleh
Dwi Sudarman
Nim. D1B5 08 016
Pendahuluan
Indonesia mempunyai luas hutan yang menempati urutan ke tiga dunia setelah Brasil dan Zaire. Luas hutan Indonesia kini diperkirakan mencapai 120,35 juta ha, atau 63 persen luas daratan (Herdiman, 2003 dalam Hermanus 2006). Hutan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu merupakan salah satu sumber daya alam yang penting bagi Indonesia. Dengan sumber yang cukup tinggi bagi pendapatan ekspor, lapangan kerja, serta sumber pendapatan masyarakat lokal. Untuk mengetahui potensi yang dimiliki suatu kawasan hutan maka dilakukan kegiatan inventarisasi.
Inventarisasi hutan adalah kegiatan dalam sistem pengelolaan hutan untuk mengetahui kekayaan yang terkandung di dalam suatu hutan pada saat tertentu (Simon, 1996). Istilah inventarisasi hutan ini biasa juga disebut perisalahan hutan / timber cruising / cruising / timber estimation. Secara umum inventarisasi hutan didefinisikan sebagai pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumberdaya hutan untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lestari dan serbaguna (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999). Salah satu jenis kegiatan inventarisasi hutan adalah inventarisasi hutan paska kebakaran dan penebangan.
Inventarisasi hutan paska kebakaran dan penebangan merupakan suatu kegiatan survei yang bertujuan untuk mendapatkan data lapangan guna menentukan kebijaksanaan dalam rangka perencanaan pengelolaan kawasan hutan selanjutnya setelah kebakaran atau penebangan. Maksud dilaksanakan kegiatan Inventarisasi Pasca Kebakaran dan penebangan adalah untuk mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif kondisi hutan pasca kebakaran dan penebangan serta sosial ekonomi masyarakat disekitarnya.

Metode Inventarisasi
a. Sistem Pengambilan Contoh
Sistem yang digunakan adalah sistem sampling plot data jalur sistematis dengan menggunakan plot ukur gabungan (Combined Sample Plot).  Sistem penyebaran jalur plot secara sistematis dengan pemilihan awal jalur secara acak (System Strip Sampling With Random Start), dengan jalur selebar 20 meter atau 10 meter kanan-kiri jalur ukur. Sedangkan bentuk dan ukuran plot ukur dibedakan berdasarkan kelas diameter dan tingkat permudaan yang ada, yaitu :
1.      Bentuk sub plot persegi (20 X 100) meter secara kontinyu sepanjang jalur pada setiap jarak 500 meter untuk pengukuran tingkat pohon besar (diameter >35cm).
2.      Bentuk Sub plot bujur sangkar (20 X 20) meter, (10 X 10) meter, (5 X 5) meter pada setiap jarak 500 meter, masing-masing untuk pengukuran tingkat pohon kecil (diameter 20cm > diameter 35cm), permudaan tingkat tiang (diameter 10cm > 20cm) dan permudaan tingkat pancang (tinggi minimal 1,5 s/d diameter > 10cm).
b. Garis Induk
Garis induk (base line) untuk peletakan jalur survei dapat berupa sungai atau jalan yang merupakan garis terpanjang sejajar dengan kountour, sehingga arah jalur survei tegak lurus dengan sungai atau jalan dan kountour.
Peletakan jalur survei pertama dilakukan secara acak sedangkan jalur kedua dan seterusnya secara sistematik dengan intensitas sampling (IS) sebesar 1%

c. Penentuan Jumlah Plot
Jumlah plot/unit contoh yang diperlukan dihitung dengan mempertimbangkan kualitas data yang diperlukan. Jumlah plot ditentukan berdasarkan panjang jalur survei yang harus dibuat didasarkan pada intensitas sampling sebesar 1%. Untuk menghitung panjang jalur survei dan jumlah plot adalah sebagai berikut :
1.      Panjang jalur survey
Panjang Jalur Survei = Luas areal x intensitas sampling
                                        lebar jalur survei
2.      Jumlah plot yang dibuat
Jumlah Plot yang Dibuat =  ______Panjang Jalur Survei_______
                                              jarak antar plot dalam satu jalur
 
Misalnya luas areal yang disurvei adalah 30.000 Ha, maka jalur survei yang dibuat adalah 150 km dan jumlah plotnya adalah 300 buah, tiap plot mewakili seluas + 100 hektar.
d. Pemindahan Plot Ukur
Pemindahan plot ukur hanya dilakukan bila :
1.      Plot terpotong oleh sungai besar (lebar lebih atau sama dengan 3 meter), jalan utama atau Tpn.
2.      Sub-plot tingkat pohon kecil (20 m x 20 m), sub-plot tingkat tiang (10 m x 10 m) atau sub-plot tingkat pancang terpotong oleh sungai dengan lebar lebih dari 1 meter dan kurang dari 3 meter atau jalan cabang.
3.      Sub-plot tingkat pancang (5 m x 5 m) terpotong oleh sungai atau jalan.