Sabtu, 18 Desember 2010

KEARIFAN LOKAL SUKU BUTON TENTANG PEMBUKAAN LAHAN DENGAN CARA PEMBAKARAN

SISTEM TABASI INAWU, PAIA, DAN TATUNU INAWU TENTANG PEMBUKAAN LAHAN DENGAN CARA MEMBAKAR DAN SISTEM KAOMBO UNTUK MENGHINDARI KEBAKARAN  HUTAN  DAN PENEBANGAN LIARSEBAGAI KEARIFAN LOKAL SUKU BUTON DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Oleh :
Nadila dan Ristamala Sari
(Mahasiswa Jurusan Kehutanan Unhalu)

PENDAHULUAN

Kabupaten Buton seluas ± 6.852,86 km2, wilayahnya diturunkan dari wilayah swapraja Kesultanan Buton. Sebelum tahun 1960, kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama Buton, Muna dan Kabaena, dan Tukang Besi (sekarang Wakatobi) serta dua daerah di bagian tenggara Pulau Sulawesi (Rumbia dan Poleang).  Pada tahun 1960, kesultanan yang berusia lebih dari empat abad itu dibubarkan dan wilayah kesultanan tersebut dibagi menjadi dua kabupaten yang sepenuhnya dimasukan ke dalam wilayah Indonesia.  Kabupaten Muna terletak di utara Muna dan Buton, dan Kabupaten Buton meliputi bagiab-bagian lain dari bekas wilayah kesultanan.
Kota Bau-Bau yang memiliki posisi geografis yang sangat strategis di jalur pelayaran nasional, setelah berpisah dari Kabupaten Buton, terus membangun berbagai infrastruktur menuju kota dagang, jasa, industri, pariwisata dan pendidikan.
Dari sisi sumberdaya hutan: semula, selain Hutan Lambusango dan hutan-hutan jati, Kabupaten Buton juga memiliki hutan alam di Bombana. Pertanian: semula Kabupaten Buton memiliki sawah yang luas di Bombana. Wisata alam: Kabupaten Buton telah kehilangan Wakatobi sebagai wisata bahari kelas dunia, setara dengan Bunaken. Penilaian ini, sekali lagi hanya berdasarkan hitungan kasar saat ini. Kabupaten Buton sendiri disadari memiliki berbagai potensi sumberdaya alam yang belum sepenuhnya tergarap, sebagaimana  kawasan Basilika (Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua) yang berpotensi sebagai kawasan wisata bahari sebagaimana Wakatobi.
Kearifan tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang ada di masyarakat (tradisional) dan secara turun -menurun dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Kearifan tradisional tersebut umumnya berisi ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam (hutan, tanah, dan air) secara berkelanjutan. Suku buton merupakan contoh kearifan tradisional yang masih dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan mampu memelihara sumberdaya alam sehingga dapat memberikan penghidupan untuk masyarakat setempat secara berklanjutan. Dari sisi lingkungan hidup keberadaan kearifan tradisional sangat menguntungkan karena secara langsung atau pun tidak langsung sangat membantu dalam memelihara lingkungan serta mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
Namun demikian dengan makin meningkatnya kebutuhan ekonomi akibat perkembangan jumlah penduduk serta meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, kearifan tradisional tersebut banyak yang telah ditinggalkan dan diganti dengan perhitungan ekonomi tanpa mampertimbangkan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dengan makin rusaknya sumberdaya hutan, hilangnya mata air/ sumber air, rusaknya hutan mangrove, dan lain -lain.
Mengingat begitu pentingnya peranan kearifan tradisional dalam upaya memelihara dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, maka kearifan tradisional tersebut perlu terus dipelihara dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari -hari. Upaya ini antara lain dapat dilakukan dengan memasukkan kearifan tradisional system Tatunu inawu yang ramah lingkungan system kaombo(larangan) sebagai hutan adat yang dilindungi.

SISTEM TABASI INAWU TENTANG PEMBUKAAN LAHAN DENGAN CARA MEMBAKAR

Pembukaan lahan system Tabasi Inawu sebagai tahap awal penyiapan lahan yang dapat dilakukan dengan cara membabat pohon-pohon yang akan digunakan sebagai bahan baku.
Sebelum melakukan pembukaan lahan terlebih dahulu dilakukan Tabasi Inawu yang merupakan pembersihan vegetasi yang ada pada lahan tersebut. Dengan cara manual lebih dahulu tanaman bawah dibabat baru kemudian pohon-pohon ditebang. Serasah tanaman dan batang-batang pohon kemudian dibiarkan mengering dan pengeringan akan labih cepat bila dahan-dahan dan ranting-ranting pohon dipotong-potong untuh dijual atau dimanfaatkan sebagai kayu bakar, atau dipakai untuk keperluan lain seperti bangunan. Tunggul-tunggl pohon biasanya dibiarkan dan tidak dicabut. Sebelum cara padat karya (manual) pembukaan lahan ini diterapkan secara besar-besar, dilakukan dahulu secara selektif dan terbatas, berupa uji-coba. Dalam uji semacam ini dapat dibandingkan antara cara manual dan cara mekanis serta kombinasinya pada kondisi di daerah buton.

SISTEM PAIA TENTANG PEMBUKAAN LAHAN DENGAN CARA MEMBAKAR

Paia didefenisikan sebagai suatu cara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Buton ketika hendak membakar hutan yang akan dijadikan sebagai tempat bercocok tanam dengan membuat batas lingkaran di seluruh wilayah yang akan dibakar dan merupakan pengeringan vegetasi yang akan dibakar. Dan diberi batas lingkaran sesuai dengan kondisi lahan tersebut.
Kegiatan ini (pembuatan batas lingkaran) diawali dengan membersihkan rumput, rerantingan, dedaunan dan akar atau tunggak yang dikhawatirkan mudah terbakar sehingga api yang disulut tidak menjalar kemana-mana. Biasanya sebelum pembuatan batas lingkaran, didahului dengan pengetahuan awal tentang arah angin oleh orang yang dituakan.
Pengetahuan awal dilakukan untuk menjawab arah angin mana yang harus dihindari oleh peladang dan penentuan batas lingkaran yang tepat. Kemudian lahan tersebut dibiarkan mongering agar mudh terbakar. Jika kegiatan Tapaia sudah dikerjakan langkah selanjutnya adalah pembakaran lahan.

SISTEM TATUNU INAWU (PEMBAKARAN LAHAN HUTAN)

Tatunu inawu merupakan kegiatan pembakaran bahan bakar berupa kayu dari batang –batang pohon serta bahan bakar lainnya yang sudah kering yang telah ditebang beberapa hari atau minggu sebelumnya untuk persiapan menjadi ladang atau kebun. Menurut keyakinan masyarakat  Buton, bahwa hari yang baik untuk Tatunu inawu akan ditentukan setelah upacara adat.
Tatunu inawu dilakukan pada saat matahari tidak terlalu panas yaitu mulai 07.00 – 10.00 dan waktu sore hari mulai pukul 15.00 – 17.00. Umumnya anggota tim system ini  berjumlah 1o orang sesuai dengan luasan lahan yang dibakar   Tim Tatunu inawu ini diketuai oleh orang yang dituakan yang mempunyai pengetahun  dan arah mata angin. Tim  Tatunu inawu berasal dari orang yang memiliki pengetahuan khusus dan telah berpengalaman dalam membakar lahan.
Peralatan yang dipakai untuk pembakaran diantaranya korek api, alat pemukul apiyang diambil dari ranting dari pohon yang memiliki daun-daun yang masih hidup, air serta daun kelapa kering. Daun kelapa diikat bundar sehingga berbentuk obor yang dapat digunakan untuk membakar bahan bakar. Biasanya sebelum pembakaran diawali dengan niat permohonan agar api dapat membakar bahan bakar dan api tidak menjalar ke tempat atau ladang lainnya. Selain itu, ada kepala adat yang dipercayai dan dianggap sebagai pemimpin kegiatan pembakaran yang bertugas memberikan aba-aba atau kode sebagai tanda bahwa kegiatan pembakaran akan segera dimulai. Tanda-tanda akan dimulai pembakaran dilakukan dengan cara melambai-lambaikan ranting yang memiliki dedaunan hidup.
Peladang sebelum melakukan pembakaran harus dengan cermat dan hati-hati memperhatikan arah angin bertiup untuk membuat titik api. Penentuan titik api sangat menentukan hangus (pembakaran sempurna) atau tidaknya bahan bakar yang dibakar. Penyulutan api pertama dilakukan searah angin bertiup. Pembakaran biasanya dilakukan sore hari dan secara serentak yang melibatkan seluruh peladang untuk menjaga-jaga mengelilingi lokasi perladangan pada saat pembakaran akan dan sedang berlangsung sampai selesai. Sebelum meninggalkan lahan yang sudah terbakar, peladang harus memastikan bahan bakar sudah terbakar sempurna, jika tidak terbakar sempurna biasanya para peladang mengumpulkan bahan-bahan bakar untuk dibakar kembali.
Sesudah pembukaan lahan baru dilakukan pengolahan tanah untuk persiapan pertanaman. Pengolahan tanah dapat dilakukan baik dengan cara manual maupun mekanis Pemilihan cara pembukaan lahan yang tepat penting sekali karena pembukaan lahan merupakan awal dari pengembangan pertanian menetap di daerah-daerah baru. Keefektifan suatu metode pembukaan sangat bergantung pada sifat-sifat tanah, vegetasi, dan iklimnya.



SISTEM KAOMBO UNTUK MENGHINDARI KEBAKARAN  HUTAN  DAN PENEBANGAN LIAR

Kaombo merupakan hutan adat yang dikelola oleh masyarakat setemapat, berupa “sasi” atau laranggan terhadap penyalahgunaan hutan. Dalam pengelolaannya telah diatur oleh adat yakni apabila ada masyarakat setempat yang ingin mengambil hasil hutan berupa kayu atau non kayu haruslah mengambilnya dengan bijaksana dan tetap menjaga kelestariaanya. Dalam jumlah hasil hutan yang dapat diambilpun telah dibatasi jumlahnya, tidak boleh menggambilnya secara berlebihan. Apabila ada masyarakat yang melanggar aturan tersebut berarti mereka telah melanggar adat dan wajib mendapatkan sangsi adat berupa denda adat sesuai pelanggaran yang telah ia lakukan. Sistem ini telah dilaksanakan secara turun temurun dan masih berlaku hingga saat ini, dengan tujuan terjaganya kelestarian hutan secara berkesinambungan sehingga hutan tidak hanya dapat dinikmati saat ini, melainkan anak cucu kita nantinya akan tetap merasakan manfaat dari hutan itu sendiri.
Bisa dipahami apabila para pemodal perusak hutan menutup mata terhadap kerusakan hutan, mengingat mereka umumnya adalah manusia-manusia berdaya yang secara ekonomi memiliki alternatif. Misalnya, apabila lingkungan hidup di Buton tidak lagi nyaman, mereka dengan mudah dapat pindah, apalagi kalau perusak hutan itu berasal dari seberang (luar Buton). Tidak demikian halnya bagi masyarakat yang kurang berdaya yang berada di sekitar hutan, mereka harus merasakan kepahitan lingkungan dan kemurkaan alam, walau mereka bisa jadi sama sekali tidak ikut ambil bagian dalam perusakan hutan.
Jaman keemasan Hutan Lambusango mungkin telah lewat, kerimbunan pepohonan  yang menjadi sumber kenyamanan, kesehatan dan keamanan lingkungan bisa jadi sudah dan akan menjadi semakin mahal seiring dengan kesadaran para pemodal yang melihat bahwa kerimbunan hutan merupakan mesin penghasil uang. Hutan Lambusango kini bukan lagi monopoli milik masyarakat yang hidup disekitarnya, yang pengaturannya diatur oleh lembaga adat macam ‘Kaombo’ atau ‘Sasi’ di masa tempo doeloe, melainkan Hutan Lambusango sudah menjadi milik kepentingan yang bisa jadi tidak terkait sama sekali dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Sungguh, kenyamanan, kesehatan dan kesejahteraan lingkungan bagi masyarakat sekitar hutan kini, lebih-lebih di masa depan jelas tidak akan lagi diperoleh lagi secara melimpah ruah dan cuma-cuma sebagaimana tempo doeloe. Untuk memperolehnya masyarakat tidak bisa lagi hanya tinggal diam dan pasrah, mereka harus sadar bahwa hutan merupakan harta yang tidak ternilai bagi kesejahteraan anak-anak dan cucu-cicitnya di kemudian hari. Nilai harta itu tidak akan terbayar dengan hanya mendapatkan pekerjaan sesaat sebagai operator chain-saw atau kuli pengangkut kayu. Kesejahteraan anak-cucu dan cicitnya harus menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar, bahkan harus diperjuangkan.
Hutan Lambusango, sebagai satu-satunya hutan alam dataran rendah yang berada di jantung Pulau Buton, kini sedang dan mungkin terus akan menjadi ajang perebutan mereka yang lebih mementingkan kepentingan saat ini daripada saat nanti, lebih mengutamakan kepentingan generasi sekarang daripada generasi mendatang, lebih melihat kebutuhan orangtua dan keluarga saat ini, daripada kebutuhan anak, cucu dan cicitnya nanti.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan tidak dapat dicapai dengan sekedar membuka akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya hutan, melainkan harus memperkuat budaya berproduksi dengan mengolah kekayaan alam yang berada di sekitar hutan.

PENUTUP

Kearifan masyarakat Buton dalam mengelola hutan dikenal dengan Sistem Tunu inawu Tentang Pembukaan Lahan Dengan Cara Membakar dan Kaombo (larangan). Tahapan kegiatan dalam pembakaran hutan yakni :
a. Tabasi inawu
Pembukaan lahan system Tabasi Inawu sebagai tahap awal penyiapan lahan yang dapat dilakukan dengan cara membabat pohon-pohon yang akan digunakan sebagai bahan baku.
b. Paia
Paia didefenisikan sebagai suatu cara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Buton ketika hendak membakar hutan yang akan dijadikan sebagai tempat bercocok tanam dengan membuat batas lingkaran di seluruh wilayah yang akan dibakar dan merupakan pengeringan vegetasi yang akan dibakar. Dan diberi batas lingkaran sesuai dengan kondisi lahan tersebut.
c. Tatunu inawu
Tatunu inawu merupakan kegiatan pembakaran bahan bakar berupa kayu dari batang –batang pohon serta bahan bakar lainnya yang sudah kering yang telah ditebang beberapa hari atau minggu sebelumnya untuk persiapan menjadi ladang atau kebun. Menurut keyakinan masyarakat  Buton, bahwa hari yang baik untuk Tatunu inawu akan ditentukan setelah upacara adat.