Minggu, 21 November 2010

TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL

A.    Pendahuluan
Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan sensus. Namun karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari keseluruhan elemen atau unsur tadi.
Populasi adalah keseluruhan objek yang akan/ingin diteliti. Populasi ini sering juga disebut Universe. Anggota populasi dapat berupa benda hidup maupun benda mati, dimana sifat-sifat yang ada padanya dapat diukur atau diamati. Populasi yang tidak pernah diketahui dengan pasti jumlahnya disebut "Populasi Infinit" atau tak terbatas, dan populasi yang jumlahnya diketahui dengan pasti (populasi yang dapat diberi nomor identifikasi), misalnya murid sekolah, jumlah karyawan tetap pabrik, dll disebut "Populasi Finit".
Pengambilan sampel dalam suatu penelitian terhadap populasi bertujuan Agar sampel yang diambil dari populasinya "representatif" (mewakili), sehingga dapat diperoleh informasi yang cukup untuk mengestimasi populasinya. Disamping itu juga pengambilan sampel dikarenakan populasi demikian banyaknya sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti. Keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia, membuat peneliti harus telah puas jika meneliti sebagian dari elemen penelitian. Terkadang penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih reliabel daripada terhadap populasi – misalnya, karena elemen sedemikian banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental para pencacahnya sehingga banyak terjadi kekeliruan. Demikian pula jika elemen populasi homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi menjadi tidak masuk akal, misalnya untuk meneliti kualitas jeruk dari satu pohon jeruk
   Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan yaitu Akurasi dan Presisi. Akurasi atau ketepatan merupakan tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita  dengan karakteristik populasi.
Pemilihan teknik pengambilan sampel merupakan upaya penelitian untuk mendapat sampel yang representatif (mewakili), yang dapat menggambarkan populasinya. Teknik pengambilan sampel tersebut dibagi atas 2 kelompok besar, yaitu probability sampling (random sample) dan non probability sampling (non random sample)

B.     Teknik Pengambilan Sampel Secara Acak (Probability Sampling)
1)      Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen  populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya.  Selama perbedaan gender, status kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi, serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :
a.       Susun “sampling frame”
b.      Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil
c.       Tentukan alat pemilihan sampel
d.      Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi
2)      Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak. Prosedurnya :
a.       Siapkan “sampling frame”
b.      Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
c.       Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum
d.      Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.
3)      Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen saja. Prosedur :
a.       Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen.
b.      Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
c.       Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
d.      Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample
4)       Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang “keberapa”.  Misalnya, setiap unsur populasi yang keenam, yang bisa dijadikan sampel. Soal “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada  ukuran populasi dan ukuran sampel. Misalnya, dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah 25. Prosedurnya :
a.       Susun sampling frame
b.      Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil
c.       Tentukan K (kelas interval)
d.      Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak atau random – biasanya melalui cara undian saja.
e.       Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih.
f.       Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya
5)      Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling sangat tepat. Prosedurnya :
a.       Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) – Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa.
b.      Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupate-Kotamadya-Kecamatan-Desa)
c.       Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.
d.      Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
e.       Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.
C.    Teknik Pengambilan Sampel Secara Bukan Acak (Non Probability Sampling)
Jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.
1)      Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample  (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini,  hasilnya ternyata kurang obyektif.
2)      Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.
-          Judgment Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.
Dalam program pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan, maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik.
-          Quota Sampling
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Misalnya, di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60%  dan perempuan 40% . Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak, melainkan secara kebetulan saja.
3)      Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui pandangan kaum lesbian terhadap lembaga perkawinan. Peneliti cukup mencari satu orang wanita lesbian dan kemudian melakukan wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada wanita lesbian tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya. Setelah jumlah wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok sosial lain yang eksklusif (tertutup)

INVENTARISASI HUTAN PASKA KEBAKARAN DAN PENEBANGAN

INVENTARISASI HUTAN PASKA KEBAKARAN DAN PENEBANGAN

Oleh
Dwi Sudarman
Nim. D1B5 08 016
Pendahuluan
Indonesia mempunyai luas hutan yang menempati urutan ke tiga dunia setelah Brasil dan Zaire. Luas hutan Indonesia kini diperkirakan mencapai 120,35 juta ha, atau 63 persen luas daratan (Herdiman, 2003 dalam Hermanus 2006). Hutan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu merupakan salah satu sumber daya alam yang penting bagi Indonesia. Dengan sumber yang cukup tinggi bagi pendapatan ekspor, lapangan kerja, serta sumber pendapatan masyarakat lokal. Untuk mengetahui potensi yang dimiliki suatu kawasan hutan maka dilakukan kegiatan inventarisasi.
Inventarisasi hutan adalah kegiatan dalam sistem pengelolaan hutan untuk mengetahui kekayaan yang terkandung di dalam suatu hutan pada saat tertentu (Simon, 1996). Istilah inventarisasi hutan ini biasa juga disebut perisalahan hutan / timber cruising / cruising / timber estimation. Secara umum inventarisasi hutan didefinisikan sebagai pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumberdaya hutan untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lestari dan serbaguna (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999). Salah satu jenis kegiatan inventarisasi hutan adalah inventarisasi hutan paska kebakaran dan penebangan.
Inventarisasi hutan paska kebakaran dan penebangan merupakan suatu kegiatan survei yang bertujuan untuk mendapatkan data lapangan guna menentukan kebijaksanaan dalam rangka perencanaan pengelolaan kawasan hutan selanjutnya setelah kebakaran atau penebangan. Maksud dilaksanakan kegiatan Inventarisasi Pasca Kebakaran dan penebangan adalah untuk mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif kondisi hutan pasca kebakaran dan penebangan serta sosial ekonomi masyarakat disekitarnya.

Metode Inventarisasi
a. Sistem Pengambilan Contoh
Sistem yang digunakan adalah sistem sampling plot data jalur sistematis dengan menggunakan plot ukur gabungan (Combined Sample Plot).  Sistem penyebaran jalur plot secara sistematis dengan pemilihan awal jalur secara acak (System Strip Sampling With Random Start), dengan jalur selebar 20 meter atau 10 meter kanan-kiri jalur ukur. Sedangkan bentuk dan ukuran plot ukur dibedakan berdasarkan kelas diameter dan tingkat permudaan yang ada, yaitu :
1.      Bentuk sub plot persegi (20 X 100) meter secara kontinyu sepanjang jalur pada setiap jarak 500 meter untuk pengukuran tingkat pohon besar (diameter >35cm).
2.      Bentuk Sub plot bujur sangkar (20 X 20) meter, (10 X 10) meter, (5 X 5) meter pada setiap jarak 500 meter, masing-masing untuk pengukuran tingkat pohon kecil (diameter 20cm > diameter 35cm), permudaan tingkat tiang (diameter 10cm > 20cm) dan permudaan tingkat pancang (tinggi minimal 1,5 s/d diameter > 10cm).
b. Garis Induk
Garis induk (base line) untuk peletakan jalur survei dapat berupa sungai atau jalan yang merupakan garis terpanjang sejajar dengan kountour, sehingga arah jalur survei tegak lurus dengan sungai atau jalan dan kountour.
Peletakan jalur survei pertama dilakukan secara acak sedangkan jalur kedua dan seterusnya secara sistematik dengan intensitas sampling (IS) sebesar 1%

c. Penentuan Jumlah Plot
Jumlah plot/unit contoh yang diperlukan dihitung dengan mempertimbangkan kualitas data yang diperlukan. Jumlah plot ditentukan berdasarkan panjang jalur survei yang harus dibuat didasarkan pada intensitas sampling sebesar 1%. Untuk menghitung panjang jalur survei dan jumlah plot adalah sebagai berikut :
1.      Panjang jalur survey
Panjang Jalur Survei = Luas areal x intensitas sampling
                                        lebar jalur survei
2.      Jumlah plot yang dibuat
Jumlah Plot yang Dibuat =  ______Panjang Jalur Survei_______
                                              jarak antar plot dalam satu jalur
 
Misalnya luas areal yang disurvei adalah 30.000 Ha, maka jalur survei yang dibuat adalah 150 km dan jumlah plotnya adalah 300 buah, tiap plot mewakili seluas + 100 hektar.
d. Pemindahan Plot Ukur
Pemindahan plot ukur hanya dilakukan bila :
1.      Plot terpotong oleh sungai besar (lebar lebih atau sama dengan 3 meter), jalan utama atau Tpn.
2.      Sub-plot tingkat pohon kecil (20 m x 20 m), sub-plot tingkat tiang (10 m x 10 m) atau sub-plot tingkat pancang terpotong oleh sungai dengan lebar lebih dari 1 meter dan kurang dari 3 meter atau jalan cabang.
3.      Sub-plot tingkat pancang (5 m x 5 m) terpotong oleh sungai atau jalan.