Rabu, 02 Februari 2011

MONDA’U SEBAGAI KEARIFAN LOKAL SUKU TOLAKI


MONDA’U SEBAGAI KEARIFAN LOKAL SUKU TOLAKI
(Studi Kasus di Kelurahan Unaaha Kecamatan Unaaha Kabupaten Konawe Sultra)
Oleh :
Dwi Sudarman dan Lisdar

Pendahuluan
Kabupaten Konawe adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Tenggara. Ibu kota kabupaten ini terletak di Unaaha. Dulu kabupaten ini bernama Kabupaten Kendari. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 16.480 km² dan berpenduduk sebanyak 443.911 (tahun 2000). Kabupaten Konawe dikenal sebagai lumbung beras di provinsi Sulawesi Tenggara. Separuh produksi beras provinsi tersebut berasal dari Kabupaten Konawe (id.wikipedia.org). secara administratif, kabupaten konawe terdiri atas 30 kecamatan dan 405 kelurahan/desa.
secara geografis kabupaten konawe terletak dibagian selatan Katulistiwa, memanjang dari utara ke selatan diantara antara 3°00' – 4°25' Lintang Selatan dan membentang dari barat ke timur antara 121°73' – 123°15' Bujur Timur dengan batas wilayah sebagai berikut: bagian Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah; Selatan berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan;  Barat berbatasan dengan Kabupaten Kolaka; sedangkan begian  Timur berbatasan dengan Laut Banda dan Laut Maluku.
Penduduk kabupaten konawe didominasi oleh suku tolaki. Sebagian dari masyarakat Tolaki masih tradisional dan menggantungkan hidupnya dari mengelola sumber daya alam (Adijaya, 2007).  Sampai saat ini suku tolaki memiliki keyakinan dan tradisi (baca= kearifan lokal) untuk menjaga dan memelihara kelestarian hutan yang terus diwariskan ke anak cucu mereka. Pernyataan ini dimaknai dari pepatah ” mombiara pombahora ronga anahoma ano dungu opitu turuna” yang diartikan secara harfiah bahwa secara individu dan 2 kekeluargaan masyarakat adat tolaki harus dapat memlihara dan melestarikan lingkungan alam yang dimilikinya sampai lapis ketujuh anak cucu mereka (Sarmadan & Tawulo, 2007).
Kearifan lokal masyarakat Tolaki yang masih dipertahankan sampai saat ini adalah sistem perladangan dan pembukaan lahan dengan tradisi dan kebiasaan yang sudah turun temurun dilakukan oleh nenek moyang mereka yang tetap memperhatikan daya dukung dan kelestarian hutan. Salah satu bentuk pranata pengelolaan sumberdaya hutan orang Tolaki yang masih berlaku adalah Monda’u. Pada tulisan ini, penulis akan menjelaskan rangkaian kegiatan Monda’u mulai dari kegiatan Monggiikii ando’olo hingga kegiatan molonggo.

Tahapan Kegiatan Monda’u
Monda’u merupakan suatu bentuk usaha perladangan berpindah (Shifting cultivation) (Taridala & Adijaya, 2002). Kegiatan Monda’u diawali dengan pembukaan kawasan hutan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya yang terdiri dari beberapa tahapan : 1) pemilihan lokasi perladangan (Monggiikii ando’olo ), 2) upacara pra Monda’u (mohoto o wuta), 3) menebang pepohonan kecil, menebas akar-akaran dan lain-lain (mosalei ), 4) menebang pepohonan besar (mombodoi/monduehi), 5) membakar (humunu), 6) membersihkan sisa-sisa pembakaran (mo’enggai), 7) membuat pagar (mewala), 8) menanam padi (motasu), 9) membersihkan rerumputan dan menjaga tanaman (Mosaira dan mete’ia ), 10) panen (mosawi) dan 11) memasukan ke dalam lumbung (molonggo).

Persiapan Pembukaan Lahan
Sebelum pembukaan lahan dilakukan, ada bebarapa tahapan persiapan yang harus dilakukan. Tahapan pertama yang harus dilakukan yaitu pemilihan lahan atau Mongiikii ando’olo. Lahan yang dibuka yaitu tanah yang rata atau dengan topografi dibawah 25%. Masyarakat kelurahan unaaha membuka lahan tidak lebih dari 1 Ha. Setelah pemilihan lahan telah dilakukan, maka telah dapat dilakukan pembukaan lahan. Pemilihan dan pembukaan lahan dilakukan pada awal musim kemarau yaitu bulan September hingga November.
Pada hari pertama pembukaan lahan, petani akan melakukan ritual yang disebut upacara Mohoto o wuta (memotong tanah). Ritual ini bertujuan sebagai pertanda awal akan dilakukan pembukan hutan di kawasan tersebut. Pelaksanaan ritual ini dilakukan dengan menyembelih seekor ayam di dalam lokasi tersebut. Setelah ayam tersebut disembelih, daging ayam kemudian masak di dalam hutan untuk disantap pada saat makan siang. Sebelum makan siang, kegiatan memaras (mosalei), telah dapat dilakukan hingga tiba waktu makan siang. Setelah makan siang, petani kemudian harus pulang ke rumah dan tidak diperkenankan melanjutkan kegiatan pemarasan hingga hari ke tiga. Hal ini merupakan pantangan bagi masyarakat suku tolaki.

Pembukaan Ladang
Hari ketiga, pemarasan (mosalei) dan penebangan (mombodoi/monduehi) dapat kembali dilakukan. Kegiatan ini dilakukan sebelum lahan tersebut dilakukan pembakaran (humunu). Untuk mencegah terbakarnya hutan sekitar lahan yang dibuka, maka dilakukanlah kegiatan mekere bersamaan dengan kegiatan mosalei dan mombodoi. Mekere didefenisikan sebagai suatu cara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki ketika hendak membakar hutan atau ladang yang akan dijadikan sebagai tempat bercocok tanam dengan membuat batas lingkaran (baca : sekat bakar) di seluruh wilayah yang akan dibakar. Lebar batas lingkaran umumnya antara 3 (tiga) sampai 4 (empat) meter (Sarmadan & Tawulo, 2007). Ukuran tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai ukuran standar yang dapat mencegah menyebarnya api yang disulut ke lahan atau hutan lainnya. Setelah kegiatan mosalei, mombodoi dan mekere dilakukan, lahan kemudian dijemur selama satu bulan agar lahan siap di bakar.
Setelah lebih kurang satu bulan, dengan memperhatikan kaidah pesuri mbondau maka lahan dapat dibakar (humunu). Humunu merupakan kegiatan pembakaran bahan bakar berupa kayu dari batang–batang pohon serta bahan bakar lainnya yang sudah kering yang telah ditebang. Peladang sebelum melakukan pembakaran harus dengan cermat dan hati-hati memperhatikan arah angin bertiup untuk membuat titik api. Penentuan titik api sangat menentukan hangus (pembakaran sempurna) atau tidaknya bahan bakar yang dibakar. Penyulutan api pertama dilakukan searah angin bertiup. Pembakaran biasanya dilakukan sore hari dan secara serentak yang melibatkan seluruh peladang untuk menjaga-jaga mengelilingi lokasi perladangan pada saat pembakaran akan dan sedang berlangsung sampai selesai. Sebelum meninggalkan lahan yang sudah terbakar, peladang harus memastikan bahan bakar sudah terbakar sempurna, jika tidak terbakar sempurna biasanya para peladang mengumpulkan bahan-bahan bakar untuk dibakar kembali. Kegiatan membersihkan kembali dari batang-batang yang tidak hangus disebut mo’enggai.

Penanaman, Perawatan dan Pemanenan
Sebelum kegiatan penanaman (motasu) dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pemagaran (mewala) guna menandai batasan lading dan mencegah masuknya hama babi pada ladang. Setelah lahan dinyatakan siap untuk ditanami, kegiatan motasu dapat dilakukan. Motasu merupakan kegiatan menanam benih (padi atau sayur-sayuran lainnya) pada suatu lahan atau ladang. Motasu sebaiknya segera dilakukan setelah dilakukan pembakaran lahan. Hal ini bertujuan agar lahan tidak ditumbuhi gulma sebelum penanaman. Kegiatan motasu basanya dilakukan masyarakat tolaki pada akhir musim kemarau.
Dua hingga tiga minggu setelah penanaman (motasu) dilakukan, maka kegiatan perawatan dan pengawasan ladang dapat dilakukan. Kegiatan perawatan ladang disebut dengan mosaira sedangkan kegiatan pengawasan ladang disebut meteia. Mosaira dilakukan guna merawat tanaman dari serangan gulma yaitu dengan membersihkan ladang dari tumbuhan-tumbuhan pengganggu. Sedangkan meteia yaitu kegiatan pengawasan ladang dari serangan burung kecil (manu mohewu), babi (o beke) dan hama pengganggu lainnya. Meteia dilakukan dengan melakukan penjagaan pada lahan siang dan malam.
Setelah tanaman pada ladang tersebut telah siap untuk dipanen, maka kegiatan pemanenan atau mosowi dapat dilakukan. Hasil panen kemudian diikat dan dimasukan kedalam lumbung. Kegiatan memasukan hasil panen ke dalam lumbung biasa disebut dengan molonggo. Kegiatan molonggo ini merupakan rangkaian kegiatan terakhir dari kegiatan Monda’u.

Penutup
Setiap suku memiliki berbagai cara yang unik dalam mengolah, melestarikan dan menjaga hutan disekitarnya. Pengolahan lahan hutan dengan cara Monda’u merupakan cara yang baik bagi masyarakat tolaki dalam melakukan pengolahan lahan hutan dengan lebih lestari. Namun saat ini, kearifan lokal ini perlu untuk diperkenalkan dan dilestarikan kembali oleh generasi muda khususnya generasi muda suku tolaki.


Daftar Pustaka
Adijaya. 2007. Kearifan Lingkungan pada masyarakat Tolaki : Hutan dalam Perspektif Kultural Orang Tolaki dan Pranata Perladangannya. Di dalam : Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Tenggara. Masagena Press. Makassar.
Sarmadan dan Tawulo, M.A. 2007. Kearifan Lokal Masyarakat Adat Tolaki dalam Mengelolah Lingkungan dengan Menggunakan Sistem Pengetahuan Cuaca Berladang (Pesuri Mbondau). Di dalam : Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Tenggara. Masagena Press. Makassar.
Taridala, Y dan Adijaya S. 2002. Pranata Hutan Rakyat. Debut Press. Jogyakarta.
Tuheteru, Faisal Danu. 2009. Sistem Mekere Dan Humunu Sebagai Kearifan Suku Tolaki Dalam Menghindari Kebakaran Lahan Dan Hutan Di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.
http://id.wikipedia.org/wiki/kabupaten_konawe.htm.  Diakses 27 November 2010.